Seorang pemain sirkus
memasuki hutan untuk mencari anak ular yang akan dilatih bermain sirkus.
Beberapa hari kemudian, ia menemukan beberapa anak ular dan mulai melatihnya.
Mula-mula anak ular itu dibelitkan pada kakinya.
Setelah
ular itu menjadi besar dilatih untuk melakukan permainan yang lebih berbahaya,
di antaranya membelit tubuh pelatihnya. Sesudah berhasil melatih ular itu
dengan baik, pemain sirkus itu mulai mengadakan pertunjukkan untuk umum.
Hari
demi hari jumlah penontonnya semakin banyak. Uang yang diterimanya semakin
besar. Suatu hari, permainan segera dimulai. Atraksi demi atraksi silih
berganti. Semua penonton tidak putus-putusnya bertepuk tangan menyambut setiap
pertunjukkan.
Akhirnya,
tibalah acara yang mendebarkan, yaitu permainan ular. Pemain sirkus
memerintahkan ular itu untuk membelit tubuhnya. Seperti biasa, ular itu
melakukan apa yang diperintahkan. Ia mulai melilitkan tubuhnya sedikit demi
sedikit pada tubuh tuannya. Makin lama makin keras lilitannya. Pemain sirkus
kesakitan. Oleh karena itu ia lalu memerintahkan agar ular itu melepaskan
lilitannya, tetapi ia tidak taat. Sebaliknya ia semakin liar dan lilitannya
semakin kuat. Para penonton menjadi panik, ketika jeritan yang sangat memilukan
terdengar dari pemain sirkus itu, dan akhirnya ia terkulai mati.
Renungan : “Kadang-kadang dosa
terlihat tidak membahayakan. Kita merasa tidak terganggu dan dapat
mengendalikannya. Bahkan kita merasa bahwa kita sudah terlatih untuk
mengatasinya. Tetapi pada kenyataanya, apabila dosa itu telah mulai melilit
hidup kita, sukar dapat melepaskan diri lagi daripadanya.”
Suatu hari
seorang bapak tua hendak menumpang bus. Pada saat ia menginjakkan kakinya ke
tangga, salah satu sepatunya terlepas dan jatuh ke jalan. Lalu pintu tertutup
dan bus mulai bergerak, sehingga ia tidak bisa memungut sepatu yang terlepas
tadi. Lalu si bapak tua itu dengan tenang melepas sepatunya yang sebelah dan
melemparkannya keluar jendela.
Seorang
pemuda yang duduk dalam bus melihat kejadian itu, dan bertanya kepada si bapak
tua, “Aku memperhatikan apa yang Anda lakukan Pak. Mengapa Anda melemparkan
sepatu Anda yang sebelah juga ?” Si bapak tua menjawab, “Supaya
siapapun yang menemukan sepatuku bisa memanfaatkannya.”
Si bapak tua dalam cerita di atas memahami filosofi dasar dalam hidup, jangan
mempertahankan sesuatu hanya karena kamu ingin memilikinya atau karena kamu
tidak ingin orang lain memilikinya.
Kita
kehilangan banyak hal di sepanjang masa hidup. Kehilangan tersebut pada awalnya
tampak seperti tidak adil dan merisaukan, tapi itu terjadi supaya ada perubahan
positif yang terjadi dalam hidup kita.
Kalimat di
atas tidak dapat diartikan kita hanya boleh kehilangan hal-hal jelek saja.
Kadang, kita juga kehilangan hal baik. Ini semua dapat diartikan: supaya kita
bisa menjadi dewasa secara emosional dan spiritual, pertukaran antara
kehilangan sesuatu dan mendapatkan sesuatu haruslah terjadi.
Seperti si
bapak tua dalam cerita, kita harus belajar untuk melepaskan sesuatu. Tuhan
sudah menentukan bahwa memang itulah saatnya si bapak tua kehilangan sepatunya.
Mungkin saja peristiwa itu terjadi supaya si bapak tua nantinya bisa
mendapatkan sepasang sepatu yang lebih baik.
Satu sepatu
hilang. Dan sepatu yang tinggal sebelah tidak akan banyak bernilai bagi si
bapak. Tapi dengan melemparkannya ke luar jendela, sepatu itu akan menjadi
hadiah yang berharga bagi gelandangan yang membutuhkan.
Berkeras
mempertahankannya tidak membuat kita atau dunia menjadi lebih baik. Kita semua
harus memutuskan kapan suatu hal atau seseorang masuk dalam hidup kita, atau
kapan saatnya kita lebih baik bersama yang lain. Pada saatnya, kita harus
mengumpulkan keberanian untuk melepaskannya.
Suatu Pelajaran yg Sangat Berharga, dimana
kasih sayang tak pernah bisa ditukar dengan harta dunia.
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan,
dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. sungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu. ( Terjemah Al Qur'an )
( hasil copy paste dari internet )
MANDIKAN AKU, BUNDA
Saya ingin bertutur tentang seorang sahabat
saya. Sebut saja Rani namanya. Semasa kuliah ia tergolong berotak
cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep
dirinya sudah jelas : meraih yang terbaik, baik itu dalam bidang akademis
maupun bidang profesi yang akan digelutinya.
Ketika
Universitas mengirim kami untuk mempelajari Hukum Internasional di Universiteit
Utrecht, di negerinya bunga tulip, beruntung Rani terus melangkah.
Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran dan
berpisah dengan seluk beluk hukum dan perundangan.
Beruntung pula, Rani mendapat pendamping yang "setara" dengan
dirinya, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Alifya, buah cinta
mereka lahir ketika Rani baru saja diangkat sebagai staf Diplomat
bertepatan dengan tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon nama putera mereka itu
diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan huruf terakhir
"ya", jadilah nama yang enak didengar : Alifya.
Tentunya filosofi yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula.
Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan Rani
semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan
dari satu negara ke negara lain makin meninggi.
Saya
pernah bertanya , " Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal ?"
Dengan sigap Rani menjawab : " Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya.
Everything is ok." n itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian
anaknya walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul
mengagumkan. Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian.
Kakek
neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang
ibu-bapaknya. "Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti."
Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani bertutur disela-sela dongeng menjelang
tidurnya. Tidak salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang
berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya.
Ketika
Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu Ia dan
suaminya menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum
memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah
kecil ini "DAPAT MEMAHAMI" orang tuanya. Mengagumkan memang. Alif
bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia
jarang sekali ngambek.
Kisah
Rani, Alif selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Rani bahkan
menyebutnya malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski
kedua orang tua sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya
menginginkan anak seperti Alif.
Suatu
hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan
baby-sitternya. "ALIF INGIN BUNDA MANDIKAN." Ujarnya. Karuan saja
Rani yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadi gusar.
Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi dengan tante Mien,
baby-sitternya.
Persitiwa ini berulang sampai hampir sepekan, "BUNDA, MANDIKAN ALIF"
begitu setiap pagi. Rani dan suaminya berpikir, mungkin karena Alif sedang
dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta perhatian.
Sampai
suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. "Bu dokter,
Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency". Setengah
terbang, saya pun ngebut ke UGD. But it was too late. Allah SWT sudah punya
rencana lain. Alif, si Malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya.
Rani,
bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor
barunya, shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah
memandikan putranya.
Dan itu
memang ia lakukan, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. " INI
BUNDA LIF, BUNDA MANDIKAN ALIF " Ucapnya lirih, namun teramat pedih.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung.
Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu berkata, " INI SUDAH TAKDIR,
IYA KAN ? Aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya,
dia pergi juga kan ?". Saya diam saja mendengarkan.
"
INI KONSEKUENSI SEBUAH PILIHAN." lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat.
Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma bunga kamboja.
Tiba-tiba Rani tertunduk. "Aku ibunya ............................!"
serunya kemudian, "BANGUNLAH LIF, BUNDA MAU MANDIKAN ALIF. BERI KESEMPATAN
BUNDA SEKALI SAJA LIF". Rintihan itu begitu menyayat. Detik berikutnya ia
bersimpuh sambil mengais-ngais tanah merah. Air mata kesedihan menyirami pusara
Alif, putra satu-satunya. ( Nasi telah jadi bubur, yang berlalu tak pernah
kembali lagi, penyesalan selalu datang terlambat )
Suatu hari seorang ayah dan anaknya sedang duduk
berbincang-bincang di tepi sungai. Sang Ayah berkata kepada anaknya, “Lihatlah
anakku, air begitu penting dalam kehidupan ini, tanpa air kita semua akan
mati.”
Pada saat yang bersamaan, seekor ikan kecil mendengar
percakapan itu dari bawah permukaan air, ikan kecil itu mendadak gelisah dan
ingin tahu apakah air itu, yang katanya begitu penting dalam kehidupan ini.
Ikan kecil itu berenang dari hulu sampai ke hilir sungai sambil bertanya kepada
setiap ikan yang ditemuinya, “Hai tahukah kamu dimana tempat air berada? Aku
telah mendengar percakapan manusia bahwa tanpa air kehidupan akan mati.”
Ternyata semua ikan yang telah ditanya tidak
mengetahui dimana air itu, si ikan kecil itu semakin kebingungan, lalu ia
berenang menuju mata air untuk bertemu dengan ikan sepuh yang sudah
berpengalaman, kepada ikan sepuh itu ikan kecil ini menanyakan hal yang sama,
“Dimanakah air?”
Ikan sepuh itu menjawab dengan bijak, “Tak usah
gelisah anakku, air itu telah mengelilingimu, sehingga kamu bahkan tidak
menyadari kehadirannya. Memang benar, tanpa air kita semua akan mati.”
Apa arti cerita tersebut bagi kita. Manusia
kadang-kadang mengalami situasi yang sama seperti ikan kecil, mencari kesana
kemari tentang kehidupan dan kebahagiaan, padahal ia sedang menjalaninya,
bahkan kebahagiaan sedang melingkupinya sampai-sampai ia sendiri tidak
menyadarinya.