Entri Populer

Rabu, 25 April 2012

CUKUPLAH ALLAH SBG PELINDUNG –


CUKUPLAH ALLAH SBG PELINDUNG –

Sesungghnya rasa takut kepada Allah ta’ala bila telah memenuhi hati seorang hamba maka tidak ada di hati ini untuk rasa takut kepada selain-Nya ta’ala. Dan Dia subhanahu Dzat Yang Maha Kuat Lagi Maha Kokoh, Yang Menguasai Yang Maha Perkasa Yang Maha Sombong, yang memegang semua ubun-ubun hamba-hamba-Nya serta Dia menghadirkan kebersamaan-Nya, maka mengecil dan terasa enteng serta ringan pada dirinya semua kekuatan bumi ini, dan ia tidak ambil peduli dengannya. Dan bila tawakal dan yakin mengakar di dadanya serta dia mengetahui bahwa apa yang Dia taqdirkan meleset darinya tidak akan menimpa dirinya dan apa yang Dia taqdirkan menimpa dirinya tidak akan meleset darinya, dan bahwa andaikata jin dan manusia bersepakat untuk menimpakan bahaya terhadap dirinya tentu mereka tidak akan mampu menimpakan bahaya itu kepadanya kecuali dengan suatu yang telah Allah tetapkan atasnya, maka Allah pasti meneguhkan dia dan mengokohkan hatinya.sehingga seandainya saat itu seluruh elemen kekuatan bumi berkumpul untuk menentangnya tentulah hal itu tidak akan menggeser dia dari jalannya dan tidak membuat dia urung dari keyakinannya yang haq dan hal itu tidak menambah dia kecuali keimanan dan penyerahan diri.

“ ( yaitu ) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang ( pun ) selain kepada Alah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan,” ( Al Ahdzab : 39 )

Sabtu, 31 Maret 2012

Nilai sebuah keikhlasan


Nilai sebuah keikhlasan

Takaran sebuah kebaikan sejatinya tak akan terukur
oleh apapun. Malah akan terus melahirkan
berlipat-lipat kebaikan lainnya.

Sekitar setengah abad Hijriah, di kawasan Baghdad, hidup seorang sufi yang sangat kesohor akan ketawaduan dan kebaikannya. Ia bernama Abu Bakr ibnu Muhammad Abdul Baqi al-Baghdadi al Bazzaz al Anshari (w. 535 H). Pribadinya sangat bersahaja. Sebab itulah banyak tokoh yang terpikat mengabadikan perjalanan hidupnya yang sangat menarik.
Satu titik kisah yang sangat erat dikenang adalah tentang kalung mutiara. Kisah itu bermula ketika dia sedang i’tikaf di Masjidil Haram. Abu Bakar  tiba-tiba merasa sangat lapar. Sebagai sufi yang selalu hidup dalam kesederhanaan, bahkan nyaris tidak berpunya, tentulah ia jarang memiliki apapun. Tak terkecuali dengan hari itu.
Bunyi perut yang sudah sangat keroncongan terus merintih, minta diisi, sementara Abu Bakar tidak memiliki makanan apapun, bahkan untuk sekedar mengganjalperutnya.
Karena tidak tahan, Abu Bakar pun keluar dari Masjidil Haram. Tak berapa lama ia berjalan, ia menemukan sebuah kantong sutra yang diikat dengan kain sutra pula. Kemudian ia mengambil dan membawanya pulang. Dengan hati berdebar, ia buka kantong itu, yang ternyata di dalamnya terdapat kalung mutiara yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Luar biasa indah memukau mata.
Sadar bahwa barang temuan itu adalah barang berharga, ia pun menyimpannya di tempat aman. Kemudian, Abu Bakar kembali keluar untuk mencari makanan.
Di tengah jalan, tiba-tiba ia berpapasan dengan orang tua yang sedang mengadakan sayembara, sambil membawa sekantong uang senilai lima ratus dinar sebagai hadiah. “Uang ini akan menjadi milik siapa saja yang mengembalikan kantong yang berisi permata!!’ teriak laki-laki itu sambil mengacung-acungkan kantong uang yang dijinjingnya.
Teringat akan kantong temuannya, Abu Bakar tak sadar bergumam dalam hati. ‘Hmm.. aku akan mengambil hadiah dan memberikan kantong yang aku temukan itu, karena aku sangat membutuhkan uang untuk membeli makanan.’
Lalu, ia pun menghampiri lelaki tua itu. ‘Wahai Tuan, mari ikut denganku,’  ajaknya sambil meminta lelaki itu menyebutkan ciri-ciri kantong, tali pengikat, kalung permata dan jumlahnya.
Begitu ciri-ciri disebutkan dan cocok dengan kantong yang Abu Bakar temukan, ia pun segera memberikan kantong tersebut kepadanya, dan lelaki itu pun lalu menyerahkan hadiah berupa uang 500 dinar kepada Abu Bakar. Akan tetapi, anehnya ia menolak, bahkan tidak mengambil sepeserpun hadiah. Padahal, sebelumnya ia ingin mendapatkan duit untuk kebutuhannya sehari-hari.
‘Aku tidak berhak menerima imbalan itu karena adalah kewajibanku untuk mengembalikannya kepadamu,’ tolaknya dengan halus.  
‘Tidak bisa. Kamu harus menerimanya!’ jawab lelaki itu sambil terus memaksa Abu Bakar. Namun, sufi Baghdad itu bersikukuh tetap menolaknya. Alhasil, lelaki itupun akhirnya pergi.
Selang beberapa lama setelah kejadian itu, Abu Bakar keluar meninggalkan kota Mekah dengan menaiki kapal dagang. Namun naas menimpanya. Di tengah laut lepas, kapal tumpangannya pecah akibat terjangan badai dan ombak tinggi. Semua awak kapal bahkan tidak ada yang selamat. Semuanya tenggelam beserta barang-barang bawaan mereka kecuali Abu Bakar, yang kebetulan menemukan sebuah balok kapal yang menopang tubuhnya terapung di perairan laut.
Selama berhari-hari, angin dan ombak membawanya entah kemana. Tanpa terasa, ia terdampar di sebuah pulau. Ia lantas mencari tempat untuk melepas lelah. Ia menemukan sebuah masjid dan beristirahat di dalamnya sambil membaca al-Qur’an.
Tak dinyana, lantunan ayat suci al-Qur’an membuat para penduduk pulau terheran-heran dan terpukau. Mereka segera mendatangi Abu Bakar. ‘Hai fulan, ajari aku membaca al-Qur’an!’ pinta mereka bersahut-sahutan. Dengan begitu, akhirnya dia mendapat banyak rizki yang sangat banyak, hadiah dari mereka.
Tanpa terasa, kerasan juga Abu Bakar berada di sana. Sebagai seorang sufi, hidupnya tak pernah jauh dari masjid. Namun, suatu hari ada kejadian aneh di masjid yang biasa dipakai untuk beribadah. Mushaf al-Qur’an berserakan di dalam masjid, tanpa tahu apa penyebabnya. Abu Bakar pun segera mengambil dan menatanya kembali berdasarkan urutannya.
Segelintir orang yang melintasi masjid itu tergugah menghampiri Abu Bakar yang kelihatan repot mengumpulkan mushaf al-Qur’an dan harus menyusunnya.
‘Apakah Anda juga bisa menulis?’ tanya mereka.
‘Ya’
‘Kalau begitu ajarilah kami menulis.’
Keesokan harinya, mereka berduyun-duyun membawa anak-anak dan para pemuda untuk diajari baca tulis. Karena begitu banyak orang ingin belajar darinya, Abu Bakar pun mendapat upah sangat banyak pula.
Melihat generasi muda di pulau itu jadi pandai baca tulis, masyarakat sangat senang dan bersyukur. Rasa hormat begitu mendalam kepada Abu Bakar tak henti-hentinya mereka sampaikan. Rasa cinta malah mulai tumbuh di hati mereka. Mereka ingin agar orang yang mereka kagumi itu selama-lamanya tinggal bersama di pulau itu.

Namun, masyarakat menginginkan ada sesuatu yang bisa mengikat Abu Bakar agar hatinya selalu tertambat di tanah kelahiran mereka. Mereka pun segera berembuk. Lalu munculah cara paling ampuh, yakni apalagi kalau bukan menjodohkannya dengan salah seorang pemudi pulau itu?
Untuk orang yang spesial, haruslah disandingkan dengan orang yang istimewa pula. Mereka teringat pada sosok fulanah yang yatim. Gadis cantik nan terpandang yang kesohor akan kekayaannya. Terbersit di kepala dan hati mereka untuk segera menjodohkan gadis itu dengan Abu Bakar.  
Mereka pun segera mendatangi Abu Bakar. ‘ Wahai Tuan, di desa ini kami mempunyai seorang anak perempuan yatim yang memiliki harta warisan yang amat banyak. Kami mohon kepadamu, agar engkau berkenan menikahinya.’
Mendengar itu, Abu Bakar langsung menolak. Tapi mereka terus memaksa hingga ia tidak dapat mengelak lagi menuruti permohonan mereka.
Taka berapa lama akad nikah pun digelar. Perempuan yatim itu  kini sah menjadi istrinya. Namun sampai di situ Abu Bakar belum juga bertemu dengannya. Para kerabat pun lantas menyuruh perempuan itu menemui mempelainya.
Ia pun keluar. Dengan pakaian pengantin mewah dibalut pernik-pernik perhiasan, perempuan itu terlihat begitu anggun memesona mengenakannya. Mata Abu Bakar pun tak berkedip. Tapi, yang membuat penglihatannya terpaku adalah kalung mutiara yang melingkar di leher sang istri. Ia begitu terkejut dan terheran-heran, hingga terkesan tidak bisa memikirkan hal lain termasuk sang istri yang baru dijumpainya, kecuali kalung tersebut.
Melihat tingkah Abu Bakar, orang-orang yang hadir pun menegurnya. ‘Hai tuan, ketahuilah, engkau telah menyakiti hatinya, karena pandanganmu terus saja ke arah kalung, sementara engkau tidak menghiraukan kehadirannya sama sekali.’
Mendengar teguran tersebut, Abu Bakar pun langsung tergugah untuk menceritakan hal yang berkecamuk di benaknya saat ia melihat kalung di leher istrinya.
‘Apa hubungan istriku dengan orang tua yang ada dalam ceritaku?’ tanyanya di akhir cerita.
Tak langsung menjawab, orang-orang yang hadir itu malah justru bertakbir dan menyebut nama Allah. Bahkan kabar itu segera menyebar ke seluruh penjuru pulau.
Merasa masih penasaran, Abu Bakar pun dalam satu kesempatan menemui masyarakat. ‘Apa yang sebenarnya terjadi?’
‘Ketahuilah! Orang tua yang mengambil kalung mutiara dari Anda adalah bapak dari istrimu. Ketika itu almarhum pernah berkata kepada kami, ‘Di dunia ini aku belum pernah melihat seorang muslim yang baik kecuali orang yang telah mengembalikan kalung ini kepadaku.’ Kemudian dia berdoa, ‘Ya Allah, pertemukan aku dengannya, aku ingin sekali menikahkannya dengan putriku.’ Doa dan harapannya ternyata benar-benar menjadi kenyataan,’ terang mereka.
Usai tersingkap rahasia di balik kisah kalung mutiara itu, Abu Bakar pun akhirnya hidup tenang bersama sang istri. Beberapa tahun kemudian, mereka dikaruniai dua putra. Namun, selang berapa lama, sang istri tutup usia meninggalkan Abu Bakar dan anak-anak, dengan meninggalkan warisan yang melimpah untuk mereka.
Bahkan tak lama, kedua anaknya pun ikut menyusul ibunya, dalam usia yang masih sangat muda. Walhasil, kalung mutiara yang menyisakan kenangan dan kisah berharga itu pun menjadi milik Abu Bakar seorang. Untuk membiayai hidup, ia pun menjual kalung tersebut dengan harga seratus ribu dinar.
Begitulah buah dari kebaikan. Akan terus melahirkan kebaikan lainnya. Wallahu A’lam bi al Shawab.
[Disarikan dari The Great Women, Mengapa Wanita harus Merasa Tidak Lebih Mulia (judul asli: Uluwwul Himmah ‘Inda an-Nisa), Pena Pundi Aksara, 2006]