Nilai
sebuah keikhlasan
Takaran sebuah kebaikan sejatinya tak akan terukur
oleh apapun. Malah akan
terus melahirkan
berlipat-lipat kebaikan
lainnya.
Sekitar setengah abad Hijriah, di
kawasan Baghdad, hidup seorang sufi yang sangat kesohor akan ketawaduan dan
kebaikannya. Ia bernama Abu Bakr ibnu Muhammad Abdul Baqi al-Baghdadi al Bazzaz
al Anshari (w. 535 H). Pribadinya sangat bersahaja. Sebab itulah banyak tokoh
yang terpikat mengabadikan perjalanan hidupnya yang sangat menarik.
Satu titik kisah yang sangat erat
dikenang adalah tentang kalung mutiara. Kisah itu bermula ketika dia sedang
i’tikaf di Masjidil Haram. Abu Bakar tiba-tiba merasa sangat lapar.
Sebagai sufi yang selalu hidup dalam kesederhanaan, bahkan nyaris tidak
berpunya, tentulah ia jarang memiliki apapun. Tak terkecuali dengan hari itu.
Bunyi perut yang sudah sangat keroncongan terus merintih, minta diisi,
sementara Abu Bakar tidak memiliki makanan apapun, bahkan untuk sekedar
mengganjalperutnya.
Karena tidak tahan, Abu Bakar pun
keluar dari Masjidil Haram. Tak berapa lama ia berjalan, ia menemukan sebuah
kantong sutra yang diikat dengan kain sutra pula. Kemudian ia mengambil dan
membawanya pulang. Dengan hati berdebar, ia buka kantong itu, yang ternyata di
dalamnya terdapat kalung mutiara yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Luar
biasa indah memukau mata.
Sadar bahwa barang temuan itu
adalah barang berharga, ia pun menyimpannya di tempat aman. Kemudian, Abu Bakar
kembali keluar untuk mencari makanan.
Di tengah jalan, tiba-tiba ia
berpapasan dengan orang tua yang sedang mengadakan sayembara, sambil membawa
sekantong uang senilai lima ratus dinar sebagai hadiah. “Uang ini akan menjadi
milik siapa saja yang mengembalikan kantong yang berisi permata!!’ teriak
laki-laki itu sambil mengacung-acungkan kantong uang yang dijinjingnya.
Teringat akan kantong temuannya,
Abu Bakar tak sadar bergumam dalam hati. ‘Hmm.. aku akan mengambil hadiah dan
memberikan kantong yang aku temukan itu, karena aku sangat membutuhkan uang
untuk membeli makanan.’
Lalu, ia pun menghampiri lelaki
tua itu. ‘Wahai Tuan, mari ikut denganku,’ ajaknya sambil meminta lelaki
itu menyebutkan ciri-ciri kantong, tali pengikat, kalung permata dan jumlahnya.
Begitu ciri-ciri disebutkan dan
cocok dengan kantong yang Abu Bakar temukan, ia pun segera memberikan kantong
tersebut kepadanya, dan lelaki itu pun lalu menyerahkan hadiah berupa uang 500
dinar kepada Abu Bakar. Akan tetapi, anehnya ia menolak, bahkan tidak mengambil
sepeserpun hadiah. Padahal, sebelumnya ia ingin mendapatkan duit untuk
kebutuhannya sehari-hari.
‘Aku tidak berhak menerima imbalan
itu karena adalah kewajibanku untuk mengembalikannya kepadamu,’ tolaknya dengan
halus.
‘Tidak bisa. Kamu harus
menerimanya!’ jawab lelaki itu sambil terus memaksa Abu Bakar. Namun, sufi
Baghdad itu bersikukuh tetap menolaknya. Alhasil, lelaki itupun akhirnya pergi.
Selang beberapa lama setelah
kejadian itu, Abu Bakar keluar meninggalkan kota Mekah dengan menaiki kapal
dagang. Namun naas menimpanya. Di tengah laut lepas, kapal tumpangannya pecah
akibat terjangan badai dan ombak tinggi. Semua awak kapal bahkan tidak ada yang
selamat. Semuanya tenggelam beserta barang-barang bawaan mereka kecuali Abu
Bakar, yang kebetulan menemukan sebuah balok kapal yang menopang tubuhnya
terapung di perairan laut.
Selama berhari-hari, angin dan
ombak membawanya entah kemana. Tanpa terasa, ia terdampar di sebuah pulau. Ia
lantas mencari tempat untuk melepas lelah. Ia menemukan sebuah masjid dan
beristirahat di dalamnya sambil membaca al-Qur’an.
Tak dinyana, lantunan ayat suci
al-Qur’an membuat para penduduk pulau terheran-heran dan terpukau. Mereka
segera mendatangi Abu Bakar. ‘Hai fulan, ajari aku membaca al-Qur’an!’ pinta
mereka bersahut-sahutan. Dengan begitu, akhirnya dia mendapat banyak rizki yang
sangat banyak, hadiah dari mereka.
Tanpa terasa, kerasan juga Abu
Bakar berada di sana. Sebagai seorang sufi, hidupnya tak pernah jauh dari
masjid. Namun, suatu hari ada kejadian aneh di masjid yang biasa dipakai untuk
beribadah. Mushaf al-Qur’an berserakan di dalam masjid, tanpa tahu apa
penyebabnya. Abu Bakar pun segera mengambil dan menatanya kembali berdasarkan
urutannya.
Segelintir orang yang melintasi
masjid itu tergugah menghampiri Abu Bakar yang kelihatan repot mengumpulkan
mushaf al-Qur’an dan harus menyusunnya.
‘Apakah Anda juga bisa menulis?’
tanya mereka.
‘Ya’
‘Kalau begitu ajarilah kami
menulis.’
Keesokan harinya, mereka
berduyun-duyun membawa anak-anak dan para pemuda untuk diajari baca tulis.
Karena begitu banyak orang ingin belajar darinya, Abu Bakar pun mendapat upah sangat
banyak pula.
Melihat generasi muda di pulau itu
jadi pandai baca tulis, masyarakat sangat senang dan bersyukur. Rasa hormat
begitu mendalam kepada Abu Bakar tak henti-hentinya mereka sampaikan. Rasa
cinta malah mulai tumbuh di hati mereka. Mereka ingin agar orang yang mereka
kagumi itu selama-lamanya tinggal bersama di pulau itu.
Namun, masyarakat menginginkan ada sesuatu yang bisa mengikat Abu Bakar agar
hatinya selalu tertambat di tanah kelahiran mereka. Mereka pun segera berembuk.
Lalu munculah cara paling ampuh, yakni apalagi kalau bukan menjodohkannya
dengan salah seorang pemudi pulau itu?
Untuk orang yang spesial, haruslah
disandingkan dengan orang yang istimewa pula. Mereka teringat pada sosok
fulanah yang yatim. Gadis cantik nan terpandang yang kesohor akan kekayaannya.
Terbersit di kepala dan hati mereka untuk segera menjodohkan gadis itu dengan
Abu Bakar.
Mereka pun segera mendatangi Abu
Bakar. ‘ Wahai Tuan, di desa ini kami mempunyai seorang anak perempuan yatim
yang memiliki harta warisan yang amat banyak. Kami mohon kepadamu, agar engkau
berkenan menikahinya.’
Mendengar itu, Abu Bakar langsung
menolak. Tapi mereka terus memaksa hingga ia tidak dapat mengelak lagi menuruti
permohonan mereka.
Taka berapa lama akad nikah pun digelar. Perempuan yatim itu kini sah
menjadi istrinya. Namun sampai di situ Abu Bakar belum juga bertemu dengannya.
Para kerabat pun lantas menyuruh perempuan itu menemui mempelainya.
Ia pun keluar. Dengan pakaian
pengantin mewah dibalut pernik-pernik perhiasan, perempuan itu terlihat begitu
anggun memesona mengenakannya. Mata Abu Bakar pun tak berkedip. Tapi, yang
membuat penglihatannya terpaku adalah kalung mutiara yang melingkar di leher
sang istri. Ia begitu terkejut dan terheran-heran, hingga terkesan tidak bisa memikirkan
hal lain termasuk sang istri yang baru dijumpainya, kecuali kalung tersebut.
Melihat tingkah Abu Bakar,
orang-orang yang hadir pun menegurnya. ‘Hai tuan, ketahuilah, engkau telah
menyakiti hatinya, karena pandanganmu terus saja ke arah kalung, sementara
engkau tidak menghiraukan kehadirannya sama sekali.’
Mendengar teguran tersebut, Abu
Bakar pun langsung tergugah untuk menceritakan hal yang berkecamuk di benaknya
saat ia melihat kalung di leher istrinya.
‘Apa hubungan istriku dengan orang tua yang ada dalam ceritaku?’ tanyanya di
akhir cerita.
Tak langsung menjawab, orang-orang
yang hadir itu malah justru bertakbir dan menyebut nama Allah. Bahkan kabar itu
segera menyebar ke seluruh penjuru pulau.
Merasa masih penasaran, Abu Bakar pun dalam satu kesempatan menemui masyarakat.
‘Apa yang sebenarnya terjadi?’
‘Ketahuilah! Orang tua yang
mengambil kalung mutiara dari Anda adalah bapak dari istrimu. Ketika itu
almarhum pernah berkata kepada kami, ‘Di dunia ini aku belum pernah melihat
seorang muslim yang baik kecuali orang yang telah mengembalikan kalung ini
kepadaku.’ Kemudian dia berdoa, ‘Ya Allah, pertemukan aku dengannya, aku ingin
sekali menikahkannya dengan putriku.’ Doa dan harapannya ternyata benar-benar
menjadi kenyataan,’ terang mereka.
Usai tersingkap rahasia di balik
kisah kalung mutiara itu, Abu Bakar pun akhirnya hidup tenang bersama sang
istri. Beberapa tahun kemudian, mereka dikaruniai dua putra. Namun, selang
berapa lama, sang istri tutup usia meninggalkan Abu Bakar dan anak-anak, dengan
meninggalkan warisan yang melimpah untuk mereka.
Bahkan tak lama, kedua anaknya pun
ikut menyusul ibunya, dalam usia yang masih sangat muda. Walhasil, kalung
mutiara yang menyisakan kenangan dan kisah berharga itu pun menjadi milik Abu
Bakar seorang. Untuk membiayai hidup, ia pun menjual kalung tersebut dengan
harga seratus ribu dinar.
Begitulah buah dari kebaikan. Akan
terus melahirkan kebaikan lainnya. Wallahu A’lam bi al Shawab.
[Disarikan dari The Great Women,
Mengapa Wanita harus Merasa Tidak Lebih Mulia (judul asli: Uluwwul Himmah ‘Inda
an-Nisa), Pena Pundi Aksara, 2006]